Senin, 07 Mei 2012

Adnexitis

Adnexitis adalah inflamasi yang mengenai adnexa yaitu salah satu atau kedua tuba falopii dan ovarium. Radang tuba falopii dan radang ovarium (adnexa) biasanya terjadi bersamaan. Oleh sebab itu tepatlah nama salpingo-ooforitis atau adneksitis untuk radang tersebut. Tuba dan ovarium (adneksum) berdekatan, dan dengan perabaan tidak dapat dibedakan apakah suatu proses berasal dari tuba atau dari ovarium, maka lazim digunakan istilah kelainan adneksum. Istilah tumor adneks digunakan apabila pembesaran terdapat disebelah uterus, dan tidak diketahui apakah itu berasal dari tuba atau dari ovarium, serta tidak/belum diketahui pula apakah itu proses peradangan atau neoplasma. Apabila itu jelas proses peradangan, maka istilahnya diubah menjadi adneksitis (akuta atau kronika). Pada adnexitis di samping cukup banyaknya durasi nyeri juga menyebabkan keterbatasan yang nyata pada aktifitas, peran dan fungsi biologis wanita. Adnexitis terutama terjadi pada wanita usia 16-35 tahun dan berbahaya bagi wanita karena dapat menimbulkan infertilitas karena adanya pembengkakan dan jaringan parut yang lengket pada tuba falopii sehingga menyebabkan tuba non patten (tidak berlubang).

Adnexitis terutama disebabkan oleh infeksi bakteri dan jarang oleh virus. Sebagian besar kasus infeksi disebabkan oleh gonococcus, streptococcus, staphylococcus, E. coli, chlamydia trachoma, dan clostridium, dimana bakteri-bakteri tersebut hidup tanpa oksigen. Faktor air sangat dicurigai sebagai faktor penyebab adnexitis, hal ini dikarenakan air mengandung bakteri yang dapat masuk ke dalam tuba falopii melalui vagina. Begitu pula dengan pembalut wanita yang kurang steril dan micobacterium tuberculosa juga dapat menimbulkan adnexitis. Adnexitis dapat dengan mudah terjadi pada wanita saat dan setelah menstruasi, setelah aborsi dan setelah melahirkan. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran zat horsestyle yang ikut keluar pada saat menstruasi, saat aborsi dan saat melahirkan. Zat tersebut berfungsi sebagai daya tahan tubuh terhadap mikroorganisme atau benda asing yang akan menyebabkan terjadinya suatu penyakit atau radang. Dengan berkurangnya zat tersebut akan menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Sehingga mikroorganisme atau benda asing dapat dengan mudah masuk ke tubuh melalui organ genitalia eksterna dan menimbulkan reaksi berupa penyakit atau radang. Perjalanan infeksi pada adneksitis yaitu faktor penyebab tiba di ovarium dan tuba falopii dengan cara yang berbeda, tergantung pada tempat daerahnya. Bisa dari asenden dan desenden. Jika faktor penyebab tiba di peredaran darah ovarium dan tuba falopii maka disebut infeksi haematogen. Pada infeksi asenden faktor pencetus adnexitis bergerak ke lapisan atas dan uterus masuk ke tuba falopii. Faktor pencetus infeksi asenden antara lain: air, pembalut wanita yang kurang steril, selama dan setelah menstruasi, setelah melahirkan, setelah aborsi, gangguan-gangguan uterus misalnya adanya spiral, perubahan membran mucus dalam servix oleh karena keluarnya nanah yang mengalir dari tuba falopii dan ovarium, adanya myoma atau polips serta tumor.

Pada infeksi desenden ini terjadi jika ada inflamasi pada organ sekitar misalnya appendicitis atau proctitis atau adanya radang usus besar yang menyebar ke tuba falopii. Infeksi haematogen merupakan infeksi pada peredaran darah dan termasuk jenis adnexitis micobacterium tuberculosa yang berhubungan dengan tuberculosa. Untuk mengetahui adanya adnexitis diperlukan suatu pemeriksaan antara lain: anamnesa, pemeriksaan gynekologi dan pemeriksaan darah lengkap. Pada anamnesa biasanya penderita mengeluh nyeri hebat di daerah perut bagian bawah, nyeri saat menstruasi, nyeri saat berhubungan sexual dan kadang penderita mengeluh nyeri pinggang. Pada saat dilakukan palpasi pada abdomen ditemukan ketegangan pada dinding abdomen oleh karena adanya kontraksi otot abdominalis sebagai reaksi proteksi terhadap radang, terdapat nyeri tekan pada abdomen bagian bawah. Pada pemeriksaan gynekologi saat uterus dipalpasi (dengan tussue) juga dirasakan nyeri. Dan pada pemeriksaan darah lengkap LED meningkat. Nyeri meningkat pada saat kegiatan naik turun tangga dan mengangkat barang-barang berat.

Tulang dan sendi pelvic



Pelvic di bentuk oleh 4 buah tulang yaitu 2 buah tulang pangkal paha (coxae) yang terletak di sebelah depan dan samping tulang coxae sendiri merupakan pertautan antara tulang usus, tulang duduk dan tulang kemaluan. 1 buah tulang belangkang (sacrum) di sebelah belakang, 1 buah untaian tulang ekor (coccygeus) di sebelah belakang bersambung dengan sacrum. Rongga Pelvic dibagi dua yaitu pelvic mayor dan pelvis minor. Ada 4 buah sendi yang penting antara lain: artc. sacro iliaca 2 buah masing-masing kiri dan kanan (berkapsul), artc. Symphisis pubis (tanpa kapsul), artc. sacro
coccygeus dan artc. lumbosacral. 

Otot-otot pelvic




Dasar panggul adalah “diagfragma muscular” yang memisahkan rongga pelvic di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Jadi dasar panggul sepenuhnya terdiri atas sejumlah otot panggul yang sangat penting fungsinya. 
Otot-otot tersebut antara lain: 
  • m. levator ani (m. pubo coccygeus, pubo vaginalis dan pubo rectalis), 
  • m. sphincter ani externus, 
  • m. bulbo cavernosus
  • m. ischio coccygeus. 
Bagian dari pintu bawah panggul adalah diagfragma pelvis yang dibentuk oleh m. levator ani dan m. coccygeus. Lapisan paling luar (di atas dasar panggul) dibentuk oleh otot-otot bulbo cavernosus, yang melingkari genitalia externa, otot perinea transversus superfisialis, otot ischio cavernosus dan sphincter ani externus. Dinding abdomen terdiri atas kulit, lemak dan otot-otot diantaranya mm. Rectus obliqus externus dan internus, transversus abdominalis dan apponeurosis. M. rectus abdominalis berpangkal di depan coxae 5, 6, 7 berjalan ke bawah symphisis, bersama dengan otot yang lain berjalan miring dan melintang membentuk suatu system sehingga dinding abdomen menjadi lebih kuat. Salah satu fungsi dinding abdomen yang sangat penting ialah bersama dengan diagfragma mengecilkan rongga perut dan meningkatkan tekanan dalam rongga perut, sebagai salah satu fungsi yang penting pada persalinan, sebaliknya jika otot tersebut lemah maka dapat mengganggu persalinan serta membuat seseorang gampang terkena nyeri pinggang.

Persarafan dan pembuluh darah pelvic  
  • Sistem pembuluh darah
Aliran darah arteri untuk tuba falopii dilepaskan dari arteria uterina dan arteria ovarica. Vena-vena tuba falopii mencurahkan isinya ke dalam vena uterina dan vena ovarica.

Pembuluh darah pada pelvis berasal dari:
a. ovarica melalui cabang aorta abdominalis ke L2,
a. haemoridalis/rectalis superior yaitu lanjutan a.mesenterica inferior ke L3,
a. iliaca interna dan a. iliaca externa keduanya merupakan cabang a. Iliaca communis dan cabang-cabangnya antara lain: a. iliaca interna (a. ilio lumbalis, a. sacralis lateralis, a. glutea superior), a. obturatoria, a. vesicalis superior dan inferior, a. uterina, a. rectalis/haemoridalis media, a. pudenda interna dengan cabang a. rectalis inferior, a. perineae, a. Clititoris



Suplai darah ke ovarium diberikan oleh arteri ovarica. Arteria ovarica cabang dari pars abdominalis aortae melintas ke kaudal dengan menyusuri dinding abdomen bagian dorsal. Ditepi pelvis arteria ovarica ini menyilang pembuluh arteri iliaca externa dan memasuki ligamentum suspensorium ovarii. Arteria ovarica melepaskan cabang-cabang ke ovarium melalui mesovarium kemudian ke medial dalam ligamentum latum uteri untuk memasok darah ke tuba uterina dan uterus. Kedua cabang arteria ovarica beranastomosis dengan arteria uterina. Saluran vena dari ovarica kanan langsung bermuara ke dalam vena cava inferior, sedangkan aliran vena ovarica kiri bermuara ke dalam pembuluh balik ginjal kiri.
  •  Sistem persarafan
Persarafan tuba falopii sebagian besar berasal dari plexus ovaricus dan untuk sebagian dari plexus uterina. Serabut aferen disalurkan ke dalam nervi thoracici XI-XII,dan nervus lumbalis1.
Persarafan pada pelvic yaitu :
n. pudendus yang terdiri dari n. haemoridalis inferior, n. perinea dan n. dorsalis clitoris. Di dalam panggul berisi: sistima urinaria yang tediri dari ureter, uretra, dan vesica urinaria, sistima genetalia pada wanita terdiri dari uterus, tuba falopii, ovarium dan vagina dan sistima digestive yaitu rectum.

Serabut saraf dari ovaricus menurun mengikuti pembuluh ovarica. Plexus ovaricus berhubungan dengan plexus uterina. Serabut parasimpatikus dalam plexus berasal dari nervus vagus. Serabut aferen dari ovarium memasuki medulla spinalis melalui nervus thoracicus X.

Nyeri Akibat Adnexitis

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi merusak jaringan atau menyatakan kerusakan jaringan. Nyeri dapat terjadi oleh karena adanya stimulus, ada reseptor yang menerima rangsangan dan ada yang menghantar rangsang sampai ke pusat sensori di otak sehingga ditafsirkan sebagai rasa nyeri. Selanjutnya otak mengadakan reaksi untuk menghindari stimulus tadi yaitu dengan adanya reaksi tubuh berupa proteksi. Sehingga dengan sendirinya tubuh akan terhindar dari kerusakan jaringan yang lebih parah.


Gangguan nyeri akibat adnexitis terjadi karena adanya inflamasi pada adnexa yaitu salah satu atau kedua tuba falopii dan ovarium yang mengakibatkan penurunan aktifitas, peran dan fungsi biologis wanita.
  • Mekanisme Nyeri
Pada prinsipnya terjadi nyeri harus ada stimulus reseptor, saraf afferen dan pusat sensori di korteks serebri. Keempat unsur tersebut harus ada, jika salah satu tidak bekerja dengan baik maka tidak akan terjadi nyeri. Mempelajari nyeri dengan melewati keempat unsur tersebut dikenal dengan trasmisi nyeri yaitu neuron pertama, neuron kedua dan neuron ketiga. Pertama stimulus dapat berupa mekanis, termal ataupun kimia diterima oleh reseptor yang bertugas menerima rangsang nyeri yaitu nosiseptor (nouciceptor) merupakan ujung saraf afferen di perifer (neuron pertama). Nosiseptor paling banyak terdapat di kulit, fasia, periost, otot dan kapsul sendi. Sedangkan di tulang rawan sendi (cartilago hyalin) tidak terdapat nosiseptor. Kedua, dari neuron pertama disampaikan ke neuron kedua di medula spinalis yang selanjutnya dihantarkan melalui spinothalamic menuju ke thalamus. Ketiga, dari thalamus disampaikan ke kortex (neuron ketiga) merupakan pusat sensorik yang kemudian ditafsirkan sebagai rasa nyeri.

  • Proses terjadinya nyeri pada adnexitis
Radang adalah reaksi tubuh terhadap mikro organisme, benda asing dan ruda paksa. Tanda-tanda adanya radang antara lain nyeri,bengkak, panas, merah dan kemampuan fungsi menurun. Radang pada tuba falopii dan ovarium akan menimbulkan reaksi jaringan berupa pelepasan zat iritan nyeri (algogene) seperti produk kimiawi prostaglandin, bradikinine dan histamin. Akibat adanya zat iritan nyeri tersebut menyebabkan nyeri daerah abdomen bawah, tekanan uterus sering meningkat, adnexa (tuba falopii dan ovarium) menjadi bengkak karena adanya sumbatan pada tuba falopii yang bisa menjadi bertambah besar dengan terjebaknya cairan yang ada di dalamnya dan tekanannya menimbulkan nyeri (hydrosalpinx). Penimbunan nanah (abses) dalam tuba falopii dan ovarium bisa pecah dan nanahnya akan mengalir ke dalam rongga panggul sehingga menimbulkan nyeri sekali pada perut bagian bawah. Dinding abdomen menjadi tegang karena adanya kontraksi otot abdominalis sebagai reaksi proteksi terhadap radang serta gerakan servix uteri terasa nyeri. Sinyal nyeri ini dihantarkan oleh saraf tipe c. saraf ini kemudian masuk ke medula spinalis melalui radiks dorsalis dan berakhir di kornu dorsalis substansia grisea medula spinalis. Kemudian serabut tersebut menyeberang kesisi medula spinalis yang berlawanan dan berjalan ke cranial menuju otak melalui traktus spinothalamikus. Nyeri tersebut menyebabkan keterbatasan seorang wanita dalam melakukan aktifitas, peran dan fungsi biologisnya.

Adnexitis akut

Tanda-tanda adanya radang yaitu: calor (panas), dolor (nyeri), tumor (bengkak), rubor (merah), functio laesa (kelemahan fungsi). Gejala pada adnexitis akut antara lain: suhu tubuh meningkat, nyeri hebat di daerah abdomen bawah, dinding abdomen menjadi tegang karena adanya kontraksi otot abdominalis sebagai reaksi proteksi terhadap radang. Demam dan kadang disertai mual dan muntah, kondisi umum terdapat kelemahan yang parah, sering kali lapisan yang meradang mengeluarkan nanah, tekanan uterus sering meningkat dan menimbulkan nyeri, adnexa (tuba falopii dan ovarium) menjadi bengkak sehingga tekanannya menimbulkan nyeri, gerakan-gerakan servix terasa nyeri, hypersensitif daerah ovarium dan tuba falopii.


Adnexitis kronik

Jika fase akut telah hilang kemudian timbul keluhan lagi (excubation) ini merupakan inflamasi ulangan mungkin karena ketidakberhasilan dalam pengobatan atau akibat perubahan bekas luka (jaringan parut) setelah inflamasi sembuh. Keluhan juga dapat timbul jika penderita terlalu lelah, hal ini dikarenakan adanya kontraksi otot-otot abdomen yang menimbulkan ketegangan dinding abdomen sehingga terjadi kelemahan pada otot-otot abdomen dan akhirnya timbul nyeri. Gejala pada fase kronik sama seperti adnexitis akut hanya pada adnexitis kronik tidak terdapat peningkatan suhu tubuh. Gejala lain yang terjadi pada fase kronik antara lain: nyeri pada saat menstruasi oleh karena terjadinya kram atau kontraksi otot uterus, nyeri pada saat berhubungan sexual, nyeri setelah aktifitas berat dan nyeri bersifat menyebar ke struktur disekitarnya dan kadang penderita mengeluh nyeri pinggang bawah atau low back pain (LBP). Jika hal tersebut terjadi secara terusmenerus maka berbahaya untuk terjadinya infertilitas karena adanya pembengkakan dan jaringan parut yang lengket pada tuba falopii sehingga menyebabkan tuba non patten (tidak berlubang). Fase kronik dapat terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun.

PENATALAKSANAAN SHORT WAVE DIATHERMY PADA NYERI ADNEXITIS


Penetrasi short wave diathermy dalam jaringan

Short wave diathermy memiliki penetrasi paling dalam, tetapi tergantung tehnik penerapan aplikatornya dan nilai dielektrik jaringan yang dilalui. Pada through dan through condensor field penetrasi paling dalam dan panas optimal di jaringan lemak dan jaringan ikat. Pada coplanar condensor field penetrasi paling superfisial dan panas optimal jaringan dielektrik tinggi misalnya dalam otot rangka. Pada elektroda double coil/diplode penetrasinya lebih dalam dari single coil (monode/minode), keduanya efektif untuk jaringan tubuh dielektrik tinggi. Pada metoda inductant coil dengan grid filter (circuplode) tidak terjadi panas di kulit tetapi pengaruh thermal pada jaringan di
bawah kulit, karena produksi panas ditimbulkan oleh murni medan magnet.


Pengaruh fisiologis short wave diathermy

Meningkatkan metabolisme lokal. Meningkatkan aktivitas lokal dari kerja kelenjar keringat. Terjadi vasodilatasi lokal, adanya hyperemia merupakan respon terhadap peningkatan kebutuhan nutrisi jaringan. Meningkatkan rileksasi otot. Efek sedatif terhadap sistem saraf sensorik bila diberi mild heating. Bila diberikan dalam waktu yang lama akan meningkatkan temperatur tubuh, meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut jantung. Respon tersebut merupakan aksi dari panas yang tidak dipakai oleh tubuh dan respon dalam memelihara keseimbangan temperatur.


Pengaruh terapeutik


Mengurangi nyeri. Mengurangi spasme otot. Mempercepat penyembuhan inflamasi kronik dengan cara membantu menyerap kembali (reabsorbsi) exudat oedema sebagai akibat peningkatan supplay darah. (4) Membantu meningkatkan sirkulasi cutaneus, memberikan respon vaskuler untuk panas normal. Membantu dalam mengontrol infeksi kronik oleh peningkatan sirkulasi. Ini akan meningkatkan sel darah putih dan anti body untuk melawan organisme infeksi, memperkuat mekanisme petahanan tubuh normal. Meningkatkan extensibility jaringan fibrous, seperti tendon, kapsul sendi dan jaringan parut (scar) dengan waktu 5-10 menit yang dihasilkan oleh pengaruh peningkatan temperatur.


Pengaruh short wave diathermy terhadap adnexitis

Meningkatkan sirkulasi darah, sehingga mempercepat penyembuhan inflamasi. Meningkatkan rileksasi otot. Meningkatkan metabolisme lokal, sehingga menyebabkan penyembuhan peradangan dipercepat karena absorbsi obat-obat yang dikonsumsi pasien lebih baik. Mempercepat penyembuhan inflamasi dengan cara membantu menyerap kembali (reabsorbsi) exudat oedema sebagai akibat peningkatkan supplay darah. Menguragi nyeri melalui ujung sensorik serabut A delta dan C. Pengurangan nyeri juga berhubungan dengan pengurangan spasme otot.

Penatalaksanaan dengan menggunakan intervensi short wave diathermy cross-fire berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fr. Suwarti Hardjono, Dedeh Herawati, Mayang Anggraini. N tentang PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN SHORT WAVE DIATHERMY CROSS-FIRE DENGAN SHORT WAVE DIATHERMY CO-PLANAR TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA ADNEXITIS. tahun 2006. Perlakuan diberikan intervensi short wave diathermy cross-fire setiap hari, durasi 15 menit dimana aplikasi pertama selama 7,5 menit dan aplikasi ke dua 7,5 menit dengan intensitas 10-50 watt/cm² dan frekuensi 6 kali.




Sesuai dengan deskripsi data yang diperoleh, wanita yang menderita adnexitis berkisar antara usia 24-39 tahun. Dimana 100% baik kelompok perlakuan I dan II mengeluh nyeri abdomen bagian bawah. Pada kelompok perlakuan I, 60% pasien mengalami nyeri saat menstruasi. 80% nyeri saat berhubungan sexual, 70% nyeri pinggang bawah, 50% nyeri timbul setelah aktifitas berat. Sedangkan pada kelompok perlakuan II, 40% pasien mengalami nyeri saat menstruasi. 60% nyeri saat berhubungan sexual, 40% nyeri pinggang bawah, 30% nyeri timbul setelah aktifitas berat. Dari tabel-tabel deskripsi data pada kelompok perlakuan I sebelum dan sesudah 6 kali intervensi short wave diathermy cross-fire terjadi pengurangan intensitas nyeri yang ditunjukkan dalam visual analogue scale. Dimana hal ini terlihat pada nilai Mean sebelum intervensi 73,6 dengan SD 6,736 dan nilai Mean sesudah intervensi adalah 19,9 dengan SD 6,262. Kemudian dibuktikan dengan uji Wilcoxon diperoleh hasil P=0,005 dan Z= - 2,814 dimana P<0,01, yang berarti ada pengaruh yang bermakna pemberian short wave diathermy cross-fire terhadap pengurangan nyeri akibat adnexitis. Adnexitis terutama disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor air, pembalut wanita yang kurang steril juga oleh microbacterium tuberculosa. Radang tuba falopii dan ovarium atau istilah umumnya disebut adnexitis ini menyebabkan nyeri hebat daerah abdomen bagian bawah, tekanan uterus sering meningkat, adnexa (tuba falopii dan ovarium) menjadi bengkak karena adanya sumbatan pada tuba falopii yang bisa bertambah besar dengan terjebaknya cairan yang ada didalamnya dan tekanannya menimbulkan
nyeri (hydrosalpinx), penimbunan nanah dalam tuba falopii dan ovarium bisa pecah dan nanahnya akan mengalir ke rongga panggul sehingga menimbulkan nyeri sekali pada perut bagian bawah, dinding abdomen menjadi tegang karena adanya kontraksi otot abdominalis sebagai reaksi proteksi terhadap radang serta gerakan servix terasa nyeri.

Pada penderita adnexitis yang menggunakan short wave diathermy crossfire akan mempunyai pengaruh mengurangi nyeri, memperlancar sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme lokal sehingga
menyebabkan penyembuhan peradangan dipercepat karena absorbsi obat-obat yang dikonsumsi pasien lebih baik, hal ini akan mempercepat penyembuhan inflamasi dengan cara membantu menyerap kembali exudat oedema sebagai akibat peningkatan supplay darah dan mengurangi spasme pada otot karena efek thermal memberikan efek rileksasi pada otot.






Daftar Pustaka
Aua, Sapsford, Ruth, Dip Phty, “Women’s Health A Textbook for Physiotherapists”, Harcourt Brace and Company Limited, Los Angeles, 1999.
Hayes, Karen W, “Manual For Physical Agents”, Fourth Edition, Appleton & Lange, Los Angeles, 1993.
Low john, Reed Ann, “Electrotherapy Explained Principle And Practice”, Butterworth- Heinemann, Oxford, 2000.
Nugroho, “Neurofisiologi Nyeri dari Aspek Kedokteran”, dibawakan pada pelatihan penatalaksanaan fisioterapi komprehensif pada nyeri, Surakarta, 2001.
Pearce, C, Evelyn, “Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

Pletzer Werner, alih bahasa Syamsir, ”Sistem Lokomotor Muskuloskletal dan Topografi”, jilid 1, Hipkrates, 1997.
Rabe, Thomas, “Buku Saku Ilmu Kandungan”, Hipokrates, Jakarta, 2003. Satyanegara, M, D, “The Theory and Therapy of Pain”, Jakarta, 1979.
Syaifuddin, “Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat”, EGC, Jakarta, 1995.
Van Deusen, Yulia, “Assesment in Occupational Therapy and Physical Therapy”, Philadelphia Company, 1997.
Wadsworth, Hilary, Chanmugan, A.P.P,. “Electrophysical Agents in Physiotherapy”, Second Edition, Science Press, 1988.
Wiknjosastro, Hanifa, “Ilmu Kandungan”, Edisi Kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1994.


Juranl Fisioterapi Indonusa, Vol. 6 No. 2 Oktober 2006


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!