Selasa, 19 Juni 2012

Chest Physiotherapy pada Kasus Cerebral Palsy

Oleh : Martha Sri Astuti, BPt



Cerebral Palsy adalah gangguan sensorimotor yang menyerang kontrol gerak dan postur (Nelson, C, dikutip dalam buku Neurological Rehabilitaton, 2001). Gangguan disebabkan oleh kekurangan oksigen sesaat sebelum, selama atau sesaat sesudah proses kelahiran. Gangguan yang pasti timbul adalah gangguan sensomotorik, seperti yang disebutkan di atas. Ada juga beberapa gangguan yang muncul, antara lain gangguan respirasi.

Gangguan respirasi biasanya timbul selama dalam perawatan di rumah sakit, sebelum kondisi bayi stabil. Peran Fisioterapis ikut menentukan keberhasilan perawatan yang akan menentukan hasil akhir kondisi Pasien. Pengetahuan Fisioterapis sangat ditantang untuk ikut membantu. Dalam memberikan chest Phyisiotherapy, seorang Fisioterapis harus memperhatikan banyak hal, selain kondisi Pasien biasanya kritis, juga anatomi dada bayi berbeda dengan dewasa, sehingga akan sedikit membedakan pengkajiandan pelaksanaannya.

Sebagai seorang profesional, seorang Fisioterapis harus memberikan yang terbaik berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karenanya seorang Fisioterapis harus terus membaharui pengetahuannya. Mengenai Chest Physiotherapy haruslah dipahami dasar pelaksanaannya. Juga harus dipahami perbedaan penanganannya pada dewasa dan anak-anak serta bayi, apalagi bayi prematur. Makalah ini akan lebih fokus pada penatalaksanaan Fisioterapi pada bayi dengan kelaianan Cerebral Palsy, terutama dalam kondisi belum stabil di NICU atau rawat inap.

Anatomi

Perkembangan paru dibagi menjadi empat periode, yaitu periode embrionik, pseudoglandular, canalicular dan terminal (Pryor dan Webber,1999) . Berikut adalah tahapan perkembangan paru janin.

Periode embrionik
Minggu 3-5 : berkembang dari satu tabung bakal trachea yang kemudian segera bercabang 2, membentuk bronchus utama. Pada akhir minggu 5, trachea dan cabang utama bronchus terbentuk

Periode Pseudoglandular
Minggu 6-16 : pada masa ini berkembang saluran nafas. Berkembang dengan bercabangnya bronchus dan seterusnya, hingga terbentuk bronchus hingga cabang terminal bronchioles. Juga terbentuk jaringan vaskular, kartilago, dan jaringan limpha. Cilia terbentuk pada minggu 10 dan sesudahnya

Periode canalicular
Minggu 17-24 : pada periode ini tumbuh bronchioli, alveolar ducts dan alveoli, bersamaan dengan berkembangnya jaringan kapiler. Jaringan darah-udara mulai terbentuk pada minggu ke 19, dan surfactant mulai dihasilkan pada akhir periode

Periode Terminal
Minggu 24- lahir : pada periode ini terjadi penyempurnaan pertumbuhan bronchioli dan alveoli. Alveoli dibentuk oleh 2 jenis sel : tipe I pneumocytes adalah yang membentuk sebagian besar alveoli, sedangkan tipe II hanya 2% dari permukaan. Sel tipe II menghasilkan dan menyimpan cairan surfactant yang menjaga kestabilan tegangan permukaan alveoli dan menjaga agar alveoli tidak kolaps. Minggu 23-24 mulai dihasilkan surfactant dalam jumlah kecil, kemudian bertahap meningkat hingga minggu 30. Kelahiran dan nafas pertama merangsang dan mematangkan produksi surfactant. Menjelang akhir periode kantong-kantong udara berkembang menjadi alveoli multilokular yang primitif. Sesudah lahir alveoli berkembang ukuran dan jumlahnya. Pada saat lahir 150 juta, berkembang menjadi 300-400 juta pada saat umur 3-4 tahun- jumlah yang dibutuhkan orang dewasa. Tetapi perkembangan alveoli terus berkembang hingga usia 8 tahun.

Perkembangan paru yang perlu dicermati adalah produksi surfactant. Surfactant baru muncul pada minggu ke 23-24, dan baru berkembang sempurna ketika bayi lahir sesuai umurnya. Jadi bila bayi lahir prematur, maka terjadi permasalahan dengan produksi surfactant. Mekanisme yang diakibatkan karena tidak sempurnanya produksi surfactant akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Fisiologi

Fungsi paru dan saluran nafasnya adalah ventilasi dan difusi gas. Ventilasi adalah masuk-keluarnya udara melalui saluran nafas hingga ke bronhus termil, sedangkan fungsi difusi adalah pertukaran gas yang terjadi di bronchioli, alveoli duct, alveoli sact dan alveoli.

Ventilasi terjadi karena perubahan tekanan di dalam rongga dada karena perubahan volume rongganya. Ventilasi dipengaruhi oleh kekuatan otot-otot respirasi (terutama diafragma dan otot intercostal), elastisitas karilago intercostal, dan struktur tulang-tulang yang membentuk rongga dada. Bila ada kelainan pada salah satu hal tersebut, maka fungsi ventilasi akan terganggu. 

Inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis kontraksi, sehingga rongga dada melebar kesamping dan anterior, posisi clavicula dan costae dari posisi miring ke arah inferiolateral menjadi horisontal seperti pegangan timba. Perubahan volume menyebabkan perbedaan tekanan, tekanan didalam rongga dada lebih kecil daripada luar. Sehingga udara dari luar mengalir ke dalam rongga dada. Demikian sehingga terjadi persamaan tekanan dan kemudian terjadi ekspirasi.

Mekanisme ventilasi yang disebutkan diatas adalah ventilasi pada paru orang dewasa normal dengan kondisi: struktur costa yang miring ke arah lateroinferior, kekuatan otot diafragma yang tahan lelah, kekuatan otot intercostal yang cukup. Dan kartilago intercostal yang cukup rigid tetapi masih elastis.

Sedangkan fungsi perfusi terjadi di alveoli, juga terjadi karena perbedaan tekanan gas tertentu. Karena perbedaan konsentrasi gas pada alveoli dan kapiler disekitar alveoli. Pada saat inspirasi, konsentrasi oksigen di alveoli lebih tinggi alveoli, maka oksigen berperfusi ke kapiler. Sebaliknya karena karbondioksida di kapiler lebih tinggi di kapiler, maka berperfusi ke alveoli. Pada saat ekspirasi udara di alveoli yang sudah kaya karbondioksida dihembus keluar. 

Fungsi tersebut akan terganggu bila ada yang mengganggu proses perfusi tersebut, misalnya sekresi yang terakumulasi di alveoli atau alveoli kolaps. 
Faktor yang menentukan efisiensi respirasi adalah perbandingan perfusi dan ventilasi yang dilambangkan sebagai V/Q, dimana V adalah ventilasi dan Q adalah perfusi. Bila ada ketidakseimbangan (mismatching V/Q), maka respirasi tidak efisien. Karena sifatnya gas selalu mencari tempat yang atas. Demikian juga dengan udara dalam paru, selalu mencari tempat yang atas, sehingga alveoli yang di distal hampir kolaps. Sedangkan darah, sebagai cairan, sifatnya selalu kebawah. Demikian juga darah dalam paru, lebih banyak pada kapiler di alveoli bawah. Bila ventilasi normal, maka akan terjadi keseimbangan V/Q. Tetapi bila ada hambatan penyebaran udara hingga alveoli distal tidak mengembang, maka terjadi ketidakseimbangan. Disinilah Fisioterpis berperan.

Fungsi Respirasi pada Bayi dan Anak Kecil

Ada beberapa perbedaan anatomis dan fisiologis pada anak kecil dan bayi yang akan memberikan perubahan mekanisme ventilasi. Hal tersebut harusnya menjadi perhatian Fisioterapis. Berikut dipaparkan beberapa perbedaan anatomis dan fisiologis bayi dan amak kecil

PERBEDAAN ANATOMI

Bayi bisa menyusu dan bernafas secara bersamaan hingga kira-kira 3-4 bulan. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa bayi wajib bernafas melalui hidung. Pengamatan klinis mengatakan pembuntuan pada saluran nasal akan meningkatkan kerja pernafasan dan menyebabkan apnoea. Berikut beberapa perbedaan anatomi saluran nafas dan paru pada bayi:

  1. jaringan adenoid pada bayi mungkin membesar, sehingga mungkin menyebabkan. Juga lidah relatif besar pada bayi. Hal-hal tersebut bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas.
  2. diameter saluran nafas pada bayi lebih kecil, terutama bayi prematur, membuat tahanan yang tinggi terhadap aliran udara yang masuk. Apalagi bila ada oedem mukosa akan menambah kerja nafas.
  3. struktur dinding bronchi pada bayi berbeda. Kartilagonya lebih lentur dan ada lebih banyak kantung-kantung mukosa. Hal-hal tersebut merupakan predisposisi obstruksi saluran nafas dan kolaps
  4. alveoli bayi lebih sedikit, sehingga luas permukaan untuk pertukaran gas lebih sempit
  5. saluran kolateral antar alveoli, bonchioli dan terminal bronchioli masih belum berkembang hingga umur 2-3 tahun, hal ini menyebabkan alveoli kemungkinan besar kolaps 
  6. costae bayi letaknya sangat horisontal, sehingga tidak ada gerak seperti pegangan ember dalam respirasi. Ditambah lemahnya otot intercostal berarti pernafasan akan sangat bergantung pada diafragma. Costae dewasa akan berkembang bila bayi sudah mulai mengembangkan postur tegaknya sehingga gaya gravitasi akan menarik costae ke depan dan bawah
  7. insersi diafragma yang horisontal dan kartilago intercostae yang sangat lentur mengakibatkan efesiensi ventilasi dan perubahan bentuk dinding dada yang lebih jelek selama inspirasi
  8. jaringan jantung, tymus dan yang lain relatif lebih besar, oleh karena itu lebih sempit ruang untuk jaringan paru

PERBEDAAN FISIOLOGI

Karena perkembangannya, maka fisiologi respirasi pada bayi dan anak kecil berbeda dibandingkan orang dewasa. Berikut adalah hal-hal yang berbeda:

  1. paru bayi lebih tidak komplian dibandingkan dengan anak-anak besar dan dewasa, terutama bayi prematur (kurang dari 37 minggu kehamilan) yang mungkin kekurangan surfactant
  2. neonatus terutama yang prematur mempunyai pernafasan yang abnormal yang bisa mengarah ke apnoea. Meskipun apnoea pendek dianggap normal, tetapi yang lebih panjang dan yang memerlukan stimulasi untuk memulai bernafas lagi perlu pemeriksaan lebih lanjut
  3. perbedaan konfigurasi anatomi rongga dada- eltak costa yang horisontal- tidak memungkinkan perluasan rongga dada yang sama dengan dewasa, sehingga pemenuhan oksigen bayi harus bernafas lebih sering daripada memperdalamkan nafasnya
  4. neonatus tidur hingga 20 jam sehari dan 80%nya dalam REM. Pada orang dewasa rem hanya meliputi 20%. Karena pada saat REM terjadi penurunan tonus postural, hal ini mengakibatkan turunnya kapasitas residual, sehingga meningkatkan kerja pernafasan
  5. 50% otot diafragma orang dewasa merupakan otot tipe I yang sangat tahan terhadap kelelahan, sedangkan neonatus hanya 25%dan bayi prematur hanya 10%. Hal ini menyebabkan diafragma bayi akan cepat melelahkan diafragma
  6. tingkat metabolik istirahat anak lebih tinggi dengan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi. Sehingga sedikit peningkatan kebutuhan akan menyebabkan hypoxia. Hypoxia pada bayi menyebabkan bradycardia (kurang dari 100X/mnt) daripada tachycardia, seperti pada orang dewasa
  7. bayi lebih banyak mengembangkan paru bagian atas daripada daerah dependent seperti pada orang dewasa, meskipun pola perfusinya sama. Perbedaan ini bisa akan tetap hingga mencapai usia 20 tahun. Pada bayi dengan kelainan paru unilateral, oxygenasi bisa dioptimalkan dengan memposisikan paru yang baik pada bagian atas
  8. pada bayi kecil dead space lebih dari kapasitas fungsional residual. Didaerah dependent mungkin terjadi penutupan saluran nafas bahkan selama bernafas normal

Perbedaan-perbedaan diataslah yang menjadi pertimbangan bila kita mengadakan pengkajian dan penanganan pada bayi dan anak kecil.

Pemeriksaan dan Pengkajian

Pemeriksan pada bayi, terutama bayi prematur, harus teliti. Beberapa hal yang diperhatikan sama dengan pada orang dewasa. Tetapi ada beberapa hal tambahan yang wajib diperhatikan. Pemeriksaan terdiri dari observasi dan melihat catatan perawat, serta informasi didapat dari Perawat atau keluarga yang ada disamping bayi.

Catatan medis

  1. riwayat kehamilan, proses dan saat kelahiran
  2. Apgar score, yang menghubungkan antara nadi, kerja pernafasan, tonus otot, reflex irritabilitas, dan warna; yang akan memberikan indikasi derajat asfixia yang diderita bayi
  3. umur kehamilan dan berat badan
Diskusi dengan perawat yang relevan

  1. stabilitas kondisi anak/bayi selama beberapa jam terakhir
  2. toleransi terhadap perawatan: cepat hipoxia atau bradicardia? Berapa lama anak kembali ke kondisi mula setelah mengalami hipoxia atau bradicardia?
  3. apa anak sudah makan? Lewat oral, nasogastric, atau intravenous? Kapan terakhir makan?
  4. Apakah anak sudah mendapatkan istirahat cukup setelah perawatan terakhir?
Daftar Observasi

Dapatkan beberapa informasi dari catatan perawatan

  1. pyrexia mungkin mengindikasikan infeksi respirasi. Pada bayi prematur suhu kurang dari 36.5°C berarti perawatan yang tidak essensial harus ditunda hingga suhu naik. Perbadingan suhu pusat dan tepi harus diperhatikan, khususnya untuk pasien yang kritis
  2. tachycardia bisa disebabkan oleh sepsis atau shock. Bisa juga disebabkan oleh tidak cukupnya sedasi atau analgesia. Pada bayi prematur, bradicardia, baik yang tanpa atau karena stimulasi bisa disebabkan banyak hal termasuk akumulasi sekresi
  3. terjadinya apnea pada bayi bisa menunjukkan distress respirasi, sepsis, atau adanya sekresi di saluran nafas atas dan bawah
  4. tren gas arteri dan hubungannya dengan saturasi oksigen dan oksigen transcutaneous harus diperhatikan bersamaan dengan tingkat dan jenis bantuan respirasi
Catat semua hasil observasi. Kemudian, lakukan pemeriksaan sebagai seperti yang disebutkan dibawah ini.

Pemeriksaan

Pemeriksaan anak yang lebih tua mirip dengan orang dewasa. Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan:
1.  tanda-tanda klinis :

  • recession : terjadi karena tekanan negatif yang sangat kuat menarik dinding dada yang lunak dan komplian, sternum subcostal dan intercostal mungkin juga akan tertarik. Recessi ringan pada bayi prematur dianggap normal, tetapi pada bayi yang sudah lebih besar adalah tanda usaha nafas yang berlebihan
  • Nasal Flaring : adalah dilatasi nostril, dengan melakukan hal tsb maka tahanan terhadap aliran udara akan berkurang. Berarti bila ada nasal flaring artinya bayi tersebut sedang mengalami ditress respirasi
  • Tachypnoea : (RR > 60X/mnt) mengindikasikan distres respirasi
  • Grunting : terjasi bila bayi expirasi melawan glotis yang sebagian tertutup. Hal tsb dilakukan untuk meningkatkan kapasitas residual yang akan meningkatkan ventilasi
  • Stridor : akan terdengar bila ada obstruksi parsial pada trachea atas dan atau larynx. Obstruksinya biasanya karena ada kolapsnya dinding trachea, peradangan, atau menghirup benda asing
  • Cyanosis : adalah tanda yang tidak bisa dipercaya untuk distress respirasi pada bayi atau anak kecil, karena akan tergantung pada jumlah dan bentuk hemoglobin dan cukupnya jaringan sirkulasi periferal. Pada 3-4 minggu pertama pada umur neonatus, jumlah feta hemoglobin sangatlah tinggi. Oleh karena itu maka kurva satrasi bergeser ke kiri.
  • Auscultation : Pada bayi dan anak kecil sulit melakukan auskultasi, karena mudahnya suara ditransmisikan. Apalagi bila bayi sedang adalam ventilator, suara selang, akan mengacaukan hasilnya. Akan sangat sulit mendengarkan nafas bayi prematur, karena dia bernafas secara spontan. Ada anak yang lebih besar, suara sekresi di tenggorokan akan juga menggaung di kedua ruang paru. Wheezing yang terdengar bisa disebabkan oleh bronchospasme atau penumpukan sekresi
  • Cardiac Manifestation : distres respirasi seperti tachicardia dan meningkatnya tekanan darah sistemik. Perubahan keduanya akan memperburuk hipoxia dan bradicardia dan hypotensi
  • Extensi leher : mungkin akan muncul pada bayi dengan distres respirasi sebagai usaha menurunkan tahanan aliran uadara
  • Head Bobbing : akan muncul bila bayi menggunakan otot sternocleido mastoideus. Hal ini terjadi karena otot leher bayi relatif masih lemah, belum mampu menstabilkan kepala
  • Pallor : sering muncul pada bayi dengan ditres respirasi sebagai tanda hypoxaemia atau masalah lain termasuk anemia
  • Malas makan : biasanya dihubungkan dengan distres respirasi. Seorang bayi akan memerlukan istirahat beberapa detik bila menghisap susu.
  • Perubahan tingkat kesadaran : berkurangnya aktivitas bisa karena turunnya kesadaran atau karena sedasi, tetapi juga bisa karena hypoxia dan mungkin disertai ketidakmampuan makan dan minum
  • Observasi lain : bila anak bisa duduk dengan gembira dan bermain dengan senang berarti anak sehat. Tetapi yang mudah marah bisa jadi tanda hypoxia. Bila anak distres respirasi berat bisa seharian telentang (berbaring) untuk penghematan energi. Bila anak mengalami distres respirasi, Terapis perlu melakukan pemeriksaan tonus otot. Karena orang yang kesadarannya rendah akan turun tonus ototnya. Anak dengan hypotonik bisa kesulitan bernafas dan pembersihan saluran nafas. Perut kembung juga akan menyebabkan distresss respirasi bahkan memperburuk respirasi karena menempatkan diafragma pada posisi yang tidak menguntungkan

Sesudah melakukan pemeriksaan, maka bisa dilihat problem yang muncul. Problem yang biasa muncul adalah gangguan pada pembersihan saluran nafas atau gangguan aliran udara atau gangguan pertukaran gas.

Teknik fisioterapi

Sebagian besar teknik Fisioterapi untuk orang dewasa juga bisa dilakukan untuk anak atau bayi. Kemungkinan bahwa chest Ft dan suction akan meperburuk kondisi , sehingga pemberiannya harus benar-benar dipertimbangkan dan bukan hanya karena suatu rutinitas. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah Fisioterapis mengerti tujuan pengobatan dan pengaruhnya terhadap yang diberikan pengobatan, terutama bila yang diberikan adalah bayi prematur. Oleh karena itu evaluasi melalui pengamatan semua reaksi sangat penting. Pengobatan seharusnya diberikan setidaknya 1 jam sesudah makan untuk mencegah aspirasi.
Berikut akan dijelaskan beberapa teknik, tujuan dan kemungkinan bahayanya, yang bisa diberikan kepada bayi dan anak.

Perkusi
Perkusi dada termasuk clapping dengan menggunakan tangan atau masker. Biasanya sangat bisa ditoleransi dan sangat efektif untuk bayi. Claping seharusnya dilakukan dengan satu tangan untuk bayi atau anak kecil. Untuk bayi prematur cukup dengan 3 atau 4 jari. Tarik sedikit jari tengah sehingga membentuk cekungan. Sebagai pengganti jari bisa digunakan benda yang melengkung misalnya masker. Masker lunak dan tidak menyakitkan serta tidak merusak kulit bayi yang sensitif.
Tujuan perkusi adalah menggerakkan sekresi dari saluran nafas yang lebih distal ke arah yang lebih proximal. Dilakukan selama inspirasi maupun expirasi.

Vibrasi dan shaking
Vibrasi atau shaking dinerikan selama bayi expirasi bersamaan dengan hembusan udara keluar dari alveoli menuju ke arah keluar. Denga demikian vibrasi atau shaking diharapkan akan ikut menggerakkan juga sekresi kearah yang lebih proximal. Diperlukan waktu expirasi yang cukup, sehingga vibrasi atau shaking bisa dilaksanakan dengan optimal.

Rongga dada sangat komplian pada bayi dan anak kecil, jadi vibrasi sangat efektif untuk mengeluarkan sekresi bila RR sekitar normal (30-40). Bila bayi bernafas lebih dari 60X/mnt maka waktu expirasinya sangat pendek dan sulit untuk mengaplikasikan vibrasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Anak dengan kurang gizi, sakit liver atau bayi prematur bisa kena penyakit rickets, yang mudah patah tulangnya. Hati-hati bila melakukan vibrasi
  • Bayi yang sangat prematur kulitnya sangat sensitif, mudah luka. Mungkin vibrasi bisa membat luka. Vibrasi dan perkusi mungkin tidak tepat 
  • Vibrasi dan perkusi bisa memperparah bronchospasm

Postural Drainage
Posisi yang paling banyak terkena adalah sisi kanan atas posterior. Jangan tundukkan kepala bayi preamtur, karena akan meningkakan tekanan intra kranial. Pada bayi prematur hal tersebut akan beresiko perdarahan perivetrikular.

Posisioning
Tujuan posisioning adalah untuk mengoptimalkan fungsi paru, lebih mengoptimalkan keseimbangan V/Q. Posisi telentang adalah yang paling tidak menguntungkan. Telungkup adalah posisi yang paling menguntungkan untuk fungsi respirasi, juga karena energi yang dibutuhkan lebih rendah. Posisi telungkup baik untuk bayi yang distress respirasi dengan monitoring terus menerus. Tetapi tidak boleh dilakukan bila tidak ada monitoring atau pendampingan, karena akan beresiko terjadinya sudden infant death.

Bila ada gangguan ventilasi pada daerah tertentu, posisioning harus lebih diperhatikan. Tempatkan bagian yang terganggu pada bagian atas. Tetapi posisi ini bukan untuk postural drainage, karena pada bayi pertumbuhan saluran kolateral alveoli belum sempurna.

Bayi yang baru lahir akan mendapatkan oksigenasi lebih baik bila kepala diganjal bantal. Dan kadar oksigen dalam alveolar akan turun bila kepala diturunkan, bila tidak didukung ventilasi mekanik.

Manual hyperinflation
Biasanya manual hyperinflasi dilakukan oleh Perawat. Pada prinsipnya volume yang diberikan pada bayi 500ml dan anak 1000ml. Tekanan yang ditimbulkan tidak boleh lebih dari 5 – 10 cm H2O. Parameter yang sama berlaku bila diberikan ventilator.

Yang perlu dipetimbangkan adalah jaringan kolateral alveoli pada bayi belum tumbuh sempurna, sehingga sulit untuk membantu membuka alveoli yang kolaps. Yang terjadi justru memelarkan alveoli yang sudah terbuka. Hal tersebut akan menjadi faktor predisposisi terjadinya pnemothorax. Jadi manula hyperinflasi seharusnya tidak dilakukan pada bayi prematur, karena jaringannya yang masih rapuh dan mudah rusak oleh tekanan inflasi yang tinggi

Breathing Exercise
Tertawa dan menangis adalah latihan nafas yang paling efektif untuk bayi. Karena akan terjadi expansi paru yan maksimal.

Latihan Batuk
Anak umur 18 bulan sudah mulai bisa menirukan batuk. Umur 3-4 tahun bisa menelan. Untuk bayi rangsangan batuk bisa dilakukan dengan kompresi trachea. Dengan menggeser trachea sedikit ke kiri atau ke kanan, maka bayi akan terangsang batuk.

Suction Saluran Nafas
Bayi harus ditambahkan oksigen untuk mencegah hypoxia. Tetapi hyperoxia, meskipun hanya sebentar, akan bisa menyebabkan retinopathy.

Bila harus melakukan suction saluran nafas, maka semua alat dan tangan haruslah bersih. Karena anak dan bayi sangat rentan terhadap infeksi. Tekanan yang direkomendasikan adalah 10-20 kPa aau 75-150mmHg. Pada umumnya digunakan suction catheter nomor 6. Diameter suction tidak boleh lebih dari 50% diameter saluran nafas.

DAFTAR PUSTAKA

1.Martini, Frederic (1998): Anatomy and Physiology,fourth edition, Prentice Hall International, Inc, new Jersey
2.Pryor dan Webber (1999): Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problem, second edition, Churchill Livingstone, London
3.Shepherd, Robertha (1997): Physiotherapy in Paediatrics, third edition, Butterworth Heinemann, Oxford
4.Umphred, Darcy A (2001): Neurological Rehabilitation, fourth edition, Mosby, St Louise
sumber : http://fisiosby.com/chest-physiotherapy-pada-kasus-cerebral-palsy/

Jumat, 15 Juni 2012

A. PENGERTIAN

Emfisema Paru-paru adalah penyakit saluran pernafasan yang berciri sesak napas terus menerus yang menghebat pada waktu mengeluarkan tenaga dan sering kali dengan perasaan letih dan tidak bergairah atau kalau bahasa awamnya disebut “Paru-Paru Basah”.



Emfisema Paru-paru merupakan penyakit paru obstruktif kronik. Emfisema paru-paru merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Emfisema paru juga dapat didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.

  • KLASIFIKASI
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru.

a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.

b. Sentrilobular (sentroacinar),  yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.

B. ANATOMI FISIOLOGI

  • ANATOMI
Paru-paru mempunyai 2 sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri pulmonalis. Darah di atrium kanan mengair keventrikel kanan melalui katup AV lainnya, yang disebut katup semilunaris (trikuspidalis). Darah keluar dari ventrikel kanan dan mengalir melewati katup keempat, katup pulmonalis, kedalam arteri pulmonais. Arteri pulmonais bercabang-cabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang masing-masing mengalir keparu kanan dan kiri. Di paru arteri pulmonalis bercabang-cabang berkali-kali menjadi erteriol dan kemudian kapiler. Setiap kapiler memberi perfusi kepada saluan pernapasan, melalui sebuah alveolus, semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula, dan venula menjadi vena. Vena-vena menyatu untuk membentuk vena pulmonalis yang besar.



Darah mengalir di dalam vena pulmonalis kembali keatrium kiri untuk menyelesaikan siklus aliran darah. Jantung, sirkulasi sistemik, dan sirkulasi paru. Tekanan darah pulmoner sekitar 15 mmHg. Fungsi sirkulasi paru adalah karbondioksida dikeluarkan dari darah dan oksigen diserap, melalui siklus darah yang kontinyu mengelilingi sirkulasi sistemik dan paru, maka suplai oksigen dan pengeluaran zat-zat sisa dapat berlangsung bagi semua sel.
  • FISIOLOGIS
Luas permukaan paru-paru yang luas, yang hanya dipisahkan oleh membran tipis dari sistem sirkulasi, secara teoritis mengakibatkan seseorang mudah terserang oleh masuknya benda asing (debu) dan bakteri yang masuk bersama udara inspirasi. Tetapi, saluran respirasi bagian bawah dalam keadaan normal adalah steril. Terdapat beberapa mekanisme pertahanan yang mempertahankan sterilitas ini. Kita telah mengetahui refleks menelan atau refleks muntah yang mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam trakea, juga kerja eskalator mukosiliaris yang menjebak debu dan bakteri kemudian memindahkannya ke kerongkongan.

Selanjutnya, lapisan mukus yang mengandung faktor-faktor yang mungkin efektif sebagai pertahanan, yaitu immunoglobulin (terutama IIgA), PMNs, interferon, dan antibodi spesifik. Refleks batuk merupakan suatu mekanisme lain yang lebih kuat untuk mendorong sekresi ke atas sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan. Makrofag alveolar merupakan pertahanan yang paling akhir dan paling penting terhadap invasi bakteri ke dalam paru-paru. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dengan ciri-ciri khas dapat bermigrasi dan mempunyai sifat enzimatik, Sel ini bergerak bebas pada permukaan alveolus dan meliputi serta menelan benda atau bakteri. Sesudah meliputi partikel mikroba maka enzim litik yang terdapat dalam makrofag akan membunuh dan mencernakan mikroorganisme tersebut tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang nyata.

Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium.
  1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru.
  2. Stadium ke dua, transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek :
    •  difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan selsel jaringan;
    • distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannVa dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan
    • reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.
  3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi. Selama respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan karbon dioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.
C. ETIOLOGI
  1. Merokok adalah penyebab utama.
    • Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bromkus.
  2. Faktor predisposisi.
    • Genetik terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin alfa-1, yang merupakan suatu enzim inhibitor. Secara genetik sensitif terhadap faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen).
  3. Bronkhitis Kronis yang berkaitan dengan merokok
  4. Polusi.
    • Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
  5. Pengaruh usia
  6. Infeksi.
    • Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
  7. Genetik
  8. Paparan Debu
D. PATOFISIOLOGI

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.

Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.



Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli.

E. TANDA dan GEJALA
  • Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis Kronis
  • Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
  • Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita sampai membungkuk
  • Bibir tampak kebiruan
  • Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
  • Batuk menahun

F. TEST DIAGNOSTIK
  • Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
  • Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
  • TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema.
  • Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
  • Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
  • FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
  • GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
  • Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
  • JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
  • Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
  • Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
  • EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
  • EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
G. KOMPLIKASI

  1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
  2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
  3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
  4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
  5. Pneumonia
  6. Atelaktasis
  7. Pneumothoraks
  8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

H. PENCEGAHAN

Berhenti merokok 
Patuhi perturan keamanan di tempat kerja seperti memakai masker

I. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi, obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik mencakup:

a.Tindakan pengobatan dimaksudkan untuk memperbaiki ventilasi dan menurunkan upaya bernapas
b.Pencegahan dan pengobatan cepat terhadap infeksi
c.Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonari
d.Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
e.Dukungan psikologis
f.Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang berkesinambungan
g.Bronkodilator

Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu mengurangi obstruksi jalan nafas serta memperbaiki pertukaran gas.Medikasi ini mencakup antagonis β-adrenergik (metoproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia jantung, dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.

Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel mrnjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebulizer menghilangkan edema mukosa dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini mempermudah proses pembersihan bronkhiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi.

Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan dengan infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen, batuk meningkat dan demam. Organisme yang paling sering adalah S. pneumonia, H. influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin atau trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.

Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam perhari sampai 24 jam perhari.

Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
  • Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
  • Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
  • Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
  • Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
Mengurangi spasme otot leher.Penerapan fisioterapi :

1.Postural Drainase

Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk .

2.Breathing Exercises

Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir. Posisi yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.
Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.

3.Latihan Batuk

Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari sekret dan benda asing.

4.Latihan Relaksasi

Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.
Contohnya :
Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga.

Kamis, 14 Juni 2012



Instruksi:
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan cara menuliskan angka 0-10 pada tempat kosong yang tersedia. Jika Anda merasa pertanyaan-pertanyaan yang diberikan berikut tidak sesuai dengan kondisi Anda, tuliskan TA (tidak aplikabel) pada tempat kosong yang tersedia.

N A M A :_______________   TGL : _______________

Skala nyeri: Seberapa berat nyeri Anda?
0= tidak ada nyeri-------------------------------------------------10=sangat nyeri, nyeri tak tertahankan
1
Saat kondisi paling buruk (paling nyeri)?

2
Saat berbaring pada sisi lesi?

3
Saat meraih sesuatu pada tempat yang tinggi?

4
Saat menyentuh bagian belakang leher?

5
Saat mendorong dengan lengan sisi nyeri?

Skala disabilitas: Seberapa besar kesulitan yang Anda alami…?
0= tidak ada kesulitan -----------------------------------------10=sangat sulit, harus dibantu orang lain
6
Saat mencuci rambut (keramas)?

7
Saat mandi membersihkan punggung?

8
Saat memakai kaos dalam atau melepas sweater?

9
Saat memakai baju dengan kancing di depan?

10
Saat memakai celana?

11
Saat menaruh benda di tempat yang tinggi?

12
Saat membawa benda dengan berat + 5 kg (10 pond)?

13
Saat mengambil sesuatu dari saku belakang?


Sumber:
Roach et al (1991) Development of Shoulder Pain And Disability Index
William JW (1995) Measuring function with the Shoulder Pain And Disability Index.  Of Rheumatology 1995: 24:4 727-32


PENDAHULUAN

Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit ‘demyelinating’ saraf (Nolte 1999). Juga merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat dipastikan penyebabnya. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996).



Demielinisasi Radices
Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.

I. Guillain-Barre Syndrome

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).


Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.

Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, ‘terbakar’, tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau ‘flushing’, yaitu muka memerah secara mendadak.

Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

II. Problem Fisioterapi



Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-masing problem.
  • Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.

Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.

Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.
  • Kardiopulmonari
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.

Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.

Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).

Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi pasien.
  • Sistem Saraf Otonomik
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus (Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.

Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.
  • Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.

Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.

III. Penatalaksanaan Fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.


Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
  • Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.

Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.

Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal.

Penatalaksanaan pada Panjang Otot

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
  • Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.

Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
  • Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.
  • Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi
keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

CONTOH KASUS

Nn. Y, 17 tahun, datang ke RS A setelah dirawat 11 hari di RS lain. Dia datang dengan diagnosa GBS, dan gangguan fungsi kardiopulmonari yang menonjol, disamping fungsi motoriknya. Hasil foto rongent menjelaskan adanya atelektasis pada segmen lobus atas dan lobus tengah kanan. Fungsi motorik pada anggota atas memerlukan bantuan untuk bergerak, sedangkan anggota bawah plegi. Di RS A penderita dirawat di ruang ICU 14 hari dengan bantuan ventilator via lubang tracheostomy untuk bernafas, dan 3 hari lepas lepas ventilator dengan masker oksigen untuk memaksimalkan saturasi.

Setelah itu Nn. Y dirawat di ruangan selama 18 hari. Meskipun formal program fisioterapi dimulai minggu ke-2, sebenarnya programnya telah dilaksanakan perawat, seperti posisioning, manual hyperinflation, sehingga foto rongent yang dilakukan ulang 5 hari berikutnya sudah menunjukkan tidak ada kelainan di paru. Dengan demikian program fisioterapi yang dilakukan ditekankan pada problem muskuloskelettal, karena dalam pemeriksaan tidak ditemukan gangguan sensasi.

Program fisioterapi dimulai dengan dengan memberikan latihan aktif asistif pada anggota atas dan pasif pada anggota bawah. Hari ke 11 fisioterapi, program ditingkatkan dengan mobilisasi setengah duduk. Pada saat itu sudah ada peningkatan kekuatan otot-otot anggota bawah (2 minus). Pada akhir minggu ke-3 pemberian fisioterapi, kekuatan otot-otot tungkai sudah 3. Penderita sudah mampu duduk di toilet.

Awal minggu ke-4 fisioterapi dilakukan digimnasium dengan bantuan alat-alat, seperti over head pulley dan suspension, disamping juga dilakukan koreksi duduk. Hari berikutnya ditingkatkan dengan restorator kemudian quadricep bench. Pada akhir minggu ke-4 fisioterapi penderita sudah berangsur-angsur belajar berdiri, berjalan di paralel bar, berjalan dengan walker, dan berjalan dengan bantuan pegangan tangan.

Penderita menjalani fisioterapi selama 4 minggu dan pulang dengan berjalan dengan bantuan pegangan tangan. Selama fisioterapo diberikan, tracheostomy tetap terbuka, kanul dilepas hari terakhir penderita di RS.IV.

Kesimpulan Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating Yang menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan otonomik. Serangan GBS biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga diduga akibat dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS tergantung dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang, maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang terserang, maka gejalanya semakin ringan.

Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi.

Disamping itu, berdasarkan tahap penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2 tahap penatalaksanaan fisioterapi pada GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan lanjut. Pada tahap awal – ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti – fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi. Pada tahap ini problem kardiopulmonari dan muskuloskeletal menjadi perhatian utama.

Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik selain mencegah terjadinya dekubitus.

Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir – ketika kondisi pasien sudah membaik – fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.

Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal. Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.

Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita GBS adalah baik.

Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial seperti semula.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!